Senin, 01 Maret 2010

FESTIVAL BACA PUISI TINGKAT KABUPATEN


FESTIVAL BACA PUISI
MENGENANG PERJUANGAN KH. ABDURRAHMAN WAHID
DALAM RANGKA PERINGATAN HARLAH IPNU – IPPNU XXXI
DESA PEGIRIKAN



KETENTUAN DAN PERSYARATAN
FESTIVAL BACA PUISI UNTUK KATEGORI UMUM

1. Lomba baca puisi ini diselenggarakan oleh PR. IPNU - IPPNU Desa Pegirikan dalam rangka peringatan Harlah IPNU – PPNU XXXI Desa Pegirikan Kec. Talang Kab. Tegal
2. Lomba ini diselenggaran pada hari Minggu tanggal 21 Maret 2010 bertempat di Gedung NU Desa Pegirikan Kec. Talang Kab. Tegal.
3. Kategori puisi untuk umum.
4. Peserta lomba adalah mereka yang telah mendaftarkan diri pada tempat-tempat pendaftaran dan sudah mendaftar ulang. Bagi peserta di luar Kabupaten / Kota Tegal dapat mendaftarkan pada hari H. sebelum pelaksanaan lomba dimulai, adapun registrasi sebesar Rp. 10.000,-
5. Peserta lomba membacakan puisi wajib dan puisi pilihan pada babak penyisihan dan membacakan puisi lainnya pada babak final.
6. Peserta lomba yang dipanggil 3X berturut-turut dan tidak maju akan dipanggil kembali di urutan terakhir, baik pada babak penyisihan maupun babak final.
7. Juri lomba adalah orang-orang yang sangat kompeten dibidangnya dan memberi penilaian secara independent.
8. Lomba ini memperebutkan Thropi, Piagam dan Uang pembinaan



PUISI WAJIB

Karena Ayahku


Kalau aku orang dermawan karena Ayahku mengajarkan
Kalau aku jadi orang toleran, itu karena Ayahku yang menjadi panutan
Kalu aku jadi orang beriman, itu karena Ayahku yang menjadi imam
Kalau aku jadi orang rendah hati, itu karena Ayahku yang menginspirasi
Kalau aku jadi orang cinta kasih, itu karena Ayahku memberi tanpa pamrih
Kalau aku bikin puisi ini karena Ayahku yang rendah hati.


Karya :
Inayah Wahid
( Putri Bungsu KH. Abdurrahman Wahid )

PUISI-PUISI PILIHAN

BEGITULAH GUS


Karya : Julis Nur Husen


Dulu

ketika tuan seorang Presiden

Para raja disegala penjuru

mendengak takjub kepuncak monas

Dunia gembira datangnya kesatria

alam berbenah menyambut berkah


Ditepian istiqlal dzikir dan puji berserak sesak

Klenteng yang muram berjuta hari bangun berdiri

Disudut dalam negeri asap dupa menjunjung langit

Kuil mungil jadi riang bersiul centil

Tabur meruah do’a dan puji

Dulu …..

sekali waktu tuan seorang presiden

Semua hidup dalam drajat bermartabat

yang tertindih dan tersisih

Tersadar haru melihat kibar dwi warna

megah hingga kepuncak angan mereka

Kebhinekaan Indonesia

nyata tak bersekat warna

Ritual ibadah putih berkilau

dari ragam kitabnya

alangkah nikmatnya

Menjadi pelaku sah dinegri ini

Yang lahir dan tumbuh

oleh multi keberagaman beratus

tahun lalu

kini

setelah tuan disinggasana abadi

Semua orang mendadak repot kembali

mengenali jati diri negeri

Mengamati sepak terjang generasi

Mengawasi ulah para petinggi


Adigang adigung

Injak bawah kanan kiri


Akulah penguasa yang berkuasa untuk menguasai …..!

Akulah petinggi yang lihai mengendalikan situasi dengan senjata materi …..!

Akulah menteri pemilik segala didalam dan diluar negeri.

Menteri segala brokrasi modalku negosiasi dan koneksi

Dan pasti kubuang nurani …….!

Begitulah Gus Indonesia terkini


Tegal, 10 Januari 2010


SIAPA LAGI …..



Kara : Julis Nur Hussein



Ya robbi bil mustofa

Baligh maqaa shidanaa

Waghfir lanaa maa madlaa

Yaa wasi’al karomi


Berita lelayu atas engkau

Mencekik segenap detak tubuh

Angin barat dan timur beradu

Jadi huru hara sungkawa

Alam trsedu, bumi menghempar lesu

Air mata berguguran menyaksik dengar engkau berpulang


Gusti …….

Gelap jiwa, gelap rasa, gelap hati, gelap sanubari

Gelap …..Gelap ….terasa pekat gulita

Pekik baru dan kesedihan menghantam raga

Ditiap jengkal kaki melangkah

Menatap peti itu jasad engkau bersimpuh

Setiap itu pula air mata duka

Laillahaailallah, muhammadrro sulullah


Tuhan kau panggil yang terbaik bagi semua bangsa

Secepat itukah sang permata

Siapa lagi sang pengolok duka jadi tawa

Siapa lagi bapak bangsa yang akan kami puja


Huwal habiibulladzii

Turjaa syafaa’atuhu

Likulli hauliminal

Ahwalimuqtahami

Selamat jalan Gus ……

Do’a kami deras mengucur

Ke Arrasy Maha Tinggi dan Abadi


Tegal, 22 Januari 2010


ANAK –ANAK MATAHARI

( Buat Gusdur )

Karya : M. Mi’roj Adhika AS, SPd.I


Anak – anak matahari

Lahir dalam sunyi

Dalam asuhan embun pagi

Dan lindungan harum bunga – bunga di belukar

Ia terus saja tumbuh

Matahari menjaganya

Ia diajari air hidup merendah menyejukan semesta

Ia diajari telaga selalu suci dan sabar

Ia diajari hujan penuh rahmat dalam kehidupan

Ia diajari gunung tegar menghadapi tantangan

Ia diajari laut tentang menghadapi ombak atau pun topan

Ia diajari Guntur menggertak kedzoliman

Ia diajari banjir mengikis habis angkara murka

Ia diajari batu memilki sifat keras dan tegas pada

Kebenaran hakiki

Ia diajari alam semesta

Anak –anak matahari

Adalah air

Adalah api

Anak – anak matahari

Lahir dalam sunyi

Dalam asuhan embun pagi

Dan cahaya matahari

Pekiringan 1999


SEKETIKA


Karya : Julis Nur Husen



Seketika

Wajah – wajah meronta

Wajah – wajah tertekan

Wajah – wajah bimbang

Wajah – wajah gamang

Wajah – wajah itu terus meronta

Memutar bunga racu

Pada grnggaman jaman

Berpuluh tahun tersimpan

Dalam benak yang lacur mendalam


Seketika

Wajah – wajah berkencan

Wajah – wajah tegang

Wajah – wajah muram

Wajah – wajah penuh kedengkian

Wajah – wajah it uterus berloncatan

Mencairkan keras dendam

Pada telaga dada

Yang berkemas dalam peti

Beraneka luka diterbanya pada keramaian

Yang berpesta pora

Mengoyak tubuh orde pada bangunan

Bersejarah bangsa


Seketika

Wajah – wajah termangu

Desing bingung

Terbakar ketakutan

Dibekat ngeri dan kesakitan

Tubuh siapa tercabik remuk

Jadi lautan asap dan telaga air mata

Tubuh siapa itu tertunduk lesu

Di pinggir sejarah

Ah …..! Apa yang kita dapat hingga kini..?


Bogor, 30 April 1997


RISALAH


Karya : Apito Lahire


7 lapis langit terbuka

Dibuka 77 milyar kekuatan do’a

Dari ruh gemuruh riuh

Sebelum pergi tak pernah kau mintakan itu semua

Tapi langit bersalam padamu

Jiwa teraniaya ikut mendo’akanmu


Aku jadi paham makna kesejatianmu

Manusia memang harus berbeda untuk bertemu

Bukan demi berpisah


Maka ringan saja sukmamu melenting disela – sela awanyang berdzikir juga untukmu

Naik meleset

Menujun Allah yang tidak pernah memperbedakan perbedaan

Yang tidak mungkin juga bertanya

Dari partai mana asalmu ? yang hasil muktamar apa munaslub ?

Yang benderany berwrna atua buram ?

Yang kemarin menang atau kalah perhitungan ?


Mak selamatlah engkau

Menemani Allah, mengakrabi Allah

Bermanja – manja dengan Allah

Biar kami yang disini menguji diri

Apakah bisa menegakan Cinta kasuh – Mu

Allah ……..


20 Januari 2010

Informasi lebih lanjut hubungi Afif Rozak (087830219213)


Selasa, 03 November 2009

HATI - HATI, WAHABY CARI PENGIKUT DI MASJID - MASJID

Berkembangnya gerakan Wahabi di Indonesia dikarenakan mereka sangat serius dalam mencari pengikut di masjid-masjid. Kelompok ini disinyalir mengembangan ajaran-ajaran radikal dan pemahaman yang salah tentang jihad.

Warga Nahdlatul Ulama (NU) harus lebih mengintesifkan da’wahnya di masjid-masjid untuk menghalau perkembangan gerakan itu, serta mencermati perkembangan agama di kota-kota besar. Demikian dikatakan Wakil Kepada Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali.

“Kalau kita sadari besarnya gerakan semacam wahabi di Indonesia dikarenakan mereka sangat serius dalam berdakwah di masjid-masjid. Sementara warga NU masih kurang serius,” katanya saat menjadi keynote speaker dalam acara halaqoh alim Ulama NU Jateng-DIY yang digelar di Pesantren Raudlatuth Thalibin Bendan Kudus, Ahad (1/11) kemarin.

Menurutnya, untuk menangkal terorisme yang sedang berkembang di negeri ini, NU perlu memperkuat sikap kebangsaan serta pemahaman ma’na jihad secara benar terhadap warganya.

Dikatakan As’ad, makna jihad yang sedang berkembang belakangan ini adalah jihad yang berarti qital (membunuh) sebagaimana yang termaktub dalam kitab yang ditulis Sayyid Qutub, penerus ajaran Wahabi yang menjelma dalam gerakan Ihwanul Muslimin.

Dikatakan As’ad, Saat ini NU berada dalam kepungan aliran maupun gerakan yang berseberangan dengan ideologi NU seperti radikalisme dan ektremisme agama, neoliberalisme, sosialisme , sekularisme, dan komunisme.

“Oleh karena itu, posisi NU dituntut menjadi gerakan Islam yang substantif, dimana keberadaan NU sebagai pembawa rahmatal lil alamin yang bisa dirasakan oleh umat,” tegasnya. (adb)

Courtesy : NU ONLINE

Rabu, 21 Oktober 2009

IBNU TAIMIYAH TERNYATA SEORANG NU

Ciri yang khas dari warga Nahdhiyyin adalah tahlilan, membacakan Al Qur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk keluarga atau teman atau kaum Muslimin. Hal demikian dikerenakan keyakinan mereka bahwa pahala bacaan dan dzikir yang diniatkan untuk dihadiahkan pahalanya itu sampai kepada si mayyit!

Praktik kaum Nahdhiyyin ini mendapat kecaman tajam dari kaum Salafiyyun alias Wahabi, para pengikut setia Ibnu Taimiah. Mereka menuduhnya sebagai praktik bid’ah yang sesat dan menyesatkan! Tidak pernah disyari’atakan dalam Islam! Dan Anda perlu tahu bahwa Islam sejati dalam pandangan kaum Wahabi adalah apa yang disampaikan Ibnu Taimiah! Apa yang diucapkan Ibnu Taimiah adalah Islam dan apa yang ditolak Ibnu Taimiah bukan dari Islam! Pendek kata, Ibnu Taimiah adalah barometer kebenara Islam!

Sekali lagi, jihad paling digemari kaum Salafiyyun adalah memberantas bid’ah sesat dan menyesatkan, dan tahlilan adalah praktik bid’ah yang sesat dan menyesatkan! Oleh kerena itu, kaum Salafiyyun alias Wahabi, berjuang mati-matian (ndak mati beneran) memberantas dan mengecam tahlilan ala NU. Kaum NU di mata kaum Salafi adalah ahli bid’ah, kuburiyyun (doyan ngalap berkah dari kuburan), maulidiyyun, istighatsiyyun, tawassuliyyun dll.

Pendek kata praktik tahlilan itu bid’ah! Yang melakukannya atau membolehkannya adalah ahli bid’ah…. titik!!!

Setelah ngotot berjuang meberantas tahlilan, eh lakok gletek ternyata Ibnu Taimiah “Syeikhul-Islam”-nya Wahabi doyan tahlilan juga. Kalau begitu Ibnu Taimiah itu NU juga dong?!

Pada suatu kali Ibnu Taimiah ditanya, apakah Pahala bacaan Al Qur’an itu sampai kepada mayyit? Beliau menjawab:

Adapun bacaan di atas kuburan itu dimakruhkan oleh Abu Hanifah, Malik dan dalam salah satu riwayat Ahmad, sementara dalam riwayat beliau lainnya tidak memakruhkannya, ia mengizinkannya kerena telah sampai kepadanya hadis Ibnu Umar bahwa ia berwasiat agar dibacakan pembukaan dan penutup surah al- Baqarah di atas kuburannya. Dan telah diriwayatkan dari sebagian sahabat agar dibacakan surah al Baqarah di atas kuburan mereka.

Adapun bacaan ketika dikuburkan, maka ia telah diriwayatkan, dan adapun setelahnya tidak ada riwayat tentangnya. (Majmû’ Fatâwa,24/298).

Ia juga ditanya, apakah bacaan dan sedekah yang dilakukan seseorang untuk dihadiahkan pahalanya kepada mayyit itu sampai atau tidak? Ia menjawab:

Bacaan dan sedekah dan amal-amal kebajikan lainnya tidak diperselisihkan di antara ulama Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa akan sampai pahala amal-amal ibadah mâliah (harta) seperti sedekah dan memerdekakan budak, sebagaimana sampai juga pahala doa dan istighfar, shalat jenazah dan mendoakannay di atas kuburan. Para ulama itu berselisih dalam masalah sampainya pahala amal-amal badainiah seperti puasa, shalat dan bacaaan Al Qur’an. Pendapat yang benar adalah semua pahala amal-amal itu akan sampai. Telah tetap dalam Shahihain (Bukhari & Muslim) dari Nabi saw., “Barang siapa mati dan ia ada tanggungan puasa maka keluarganya berpuasa untuknya.” Dalam hadis lain, “Bahwa Nabi memerintah seorang perempuan yang ditinggal mati ibunya sementara ia mempunyai tanggungan puasa agar si anak itu berpuasa untuk ibunya.”… (Majmû’ Fatâwa,24/366)

Dalam kesempatan lain ia juga ditanya, apakah bacaan keluarga mayyit, tasbihan, tahmidan dan tahlilan serta takbiran (membaca Al Qur’an, subhanallah, Alhamdulillah, Lâ Ilâha Illallah, dan Allahu Akbar) jika dihadiahkan pahalanya untuk si mayyit akan sampai atau tidak? Maka ia menjawab:

“Akan sampai bacaan keluarga; tasbihan, takbiran mereka, dan seluruh jenis dzikir kepada Allah jika dihadiahkan kepada mayit akan sampai.”

Jadi kelihatan jelas bahwa Islamnya Ibnu Taimiah adalah Islamnya NU! Maka jika Nu dikecam sebagai ahli bid’ah yang sesat dan menyesatkan, maka yang pertama harus disesatkan adalah Syeikhul-Islamnya Salafiyyin alias Wahabi itu!

Wahai teman-teman Salafiyyun alias Wahabiyyun, mengapa kalian doyan membid’ahkan kami kalau imam kalian sendiri sama seperti kami… Imam kalian ternyata NU tulen! Kena batu-nya ya sekarang?!

Lagi pula kalian gemar menyanyikan lagu Salaf yang tidak ketahuan pengarangnya… eh ternyata Salafush Sholeh juga doyan tahlilan dan membaca Al Qur’an di atas kuburan! Laah ketahuan kan kalau kalian ini Salafy Gadungan! Jangan-jangan kalian ini Salah Fi (Salah tempat)! Bukan Salafy (pengikut Salaf), atau jangan-jangan Salaf yang dimaksud itu Petrok and Gareng! Bukan sahabat Nabi saw, Ibnu Umar dan kawan-kawan!

COURTESY : www.mubas.wen.ru

Rabu, 26 Agustus 2009

yang dimaksud Bid'ah dalam hadits Rasulullah Saw

Setelah adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini mengenai faham Salafi/Wahabi dan pengikutnya, marilah kita teruskan mengupas apa yang dimaksud Bid'ah menurut syari'at Islam serta wejangan/pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bid'h mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam syari'at Islam.
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari'at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid'ah menurut pengertian istilah syara'. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang artinya sebagai berikut :
"Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan (sunnah) kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan (sunnah)kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga ". (HR.Muslim). Dan beredar banyak hadits yang semakna ini.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut 'Bid'ah' hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru 'diadakan' disebut dengan nama Bid'ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid'ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. "Setiap bid'ah adalah sesat..." ("Kullu bid'atin dholalah"), serta tidak ada istilah bid'ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid'ah, maka hukumya haram, karena bid'ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits- hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru 'diadakan' ) yang dilakukan oleh para sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang diamalkan oleh isteri Nabi saw. 'Aisyah ra., Khalifah 'Umar bin Khattab ra serta para sahabat lainnya esetelah wafatnya Rasulallah saw. yang amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari beliau saw.e dan mereka kategorikan/ucapkan sendiri bahwa amalan itu sebagai amalan bid'ah (untuk lebih mendetail baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid'ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid'ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid'ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid'ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi'i tentang pemahaman bid'ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu'aim;
'Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah terpuji dan bid'ah tercela. Bid'ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid'ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid'ah yang tercela'.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi'i:
'Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur'an, Hadits, Atsar atau Ijma'. Inilah bid'ah dholalah/sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid'ah yang seperti ini tidaklah tercela'.
Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi'i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu 'Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-'Arabiy.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid'ah itu adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual mau pun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid'ah, namun dari segi ketentuan hukum syari't,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Dengan demikian ada bid'ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajr dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut : "Pada asalnya bid'ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara' bid'ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid'ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara', maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara', maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid'ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima".
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii 'Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho' ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa'id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori' dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan beliau ini yang tidak saya kutip disini.
Ada lagi golongan menganggap semua bid'h itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bid'h hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri membagi bid'h menjadi beberapa macam. Ada bid'h mukaffarah (bid'h kufur), bid'h muharramah (bid'h haram) dan bid'h makruh (bid'h yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bid'h mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syari't, atau seolah-olah bid'h diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantraranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154-pen.) bid'ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid'ah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu.
2. Bid'ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan.
3. Bid'ah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur'an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid'ah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan) dan lain sebagainya.
5. Bid'ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari'at dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari'at.
Bila semua bid'ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur'an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma'mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : 'Bid'ah ini sungguh nikmat'.
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti ; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit-rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun ebaik itu kesalahan kecil maupun besare dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah langsung diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum'at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum'at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Quran dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu'nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw... Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid'ah/masalah yang baru seperti mengadakan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi'in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid'ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari'at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid'ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi'i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: "Bid'ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari'at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar'i adalah bagian dari agama".
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari'at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid'ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha'us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung 'Arafah sebelum wukuf dipadang 'Arafah ebukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkahe, mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semuanya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan itikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan : "Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya". (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (do' perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. 'Aisyah ra. Yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid'ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid'h dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti 'Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : "Saya bersama Srwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat 'Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar 'Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada 'Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : "Bid'h".
'Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga 'Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid'ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid'ah itu bid'ah haram, dholalah/sesat yang pelakunya akan dimasukkan keneraka !
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid'ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid'ah tapi sebagai bid'ah al-Hasanah. Semuanya Ini dalam pandangan hukum syari'at bukan bid'ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan : Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar'i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid'ahtul hadyi (bid'ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah swt. 'Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung'. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman : 'Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan". (Al-Hajj:77)
Abu Mas'ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
'Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya'.
( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
'Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun".
Masih banyak lagi hadits yang serupa diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas'ud ra.
Sebagian golongan memberi ta'wil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah ; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa'ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa'ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan ta'wil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits diatas ini merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Saya tambahkan sedikit lagi mengenai makna hadits Rasulallah saw. yang menyuruh ummatnya agar senantiasa berpegang pada sunnahnya dan sunnah para Khulafa'ur Roosyidun sepeninggal beliau saw.:
"Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku". (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits ini adalah thariqah yakni jalan, cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus.Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas berdasarkan makna hadits yang lain : "Para ulama adalah ahli-waris para Nabi ". Dengan demikian maka dapat berarti pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi'in, Tabi'it-Tabi'in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur'an surat An-Nisa : 63 : "Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasul dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)".
Para alim-ulama ebukan kaum awame yang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas'ud ra. menegaskan : "Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ". Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hambal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian epenakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatase yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid'atin dholalah (semua bid'ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari'at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid'ah itu antara penggunaannya yang syar'i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak fahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid'ah yang syar'i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari'at. Jadi bukan terhadap bid'ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid'ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari'at dan inilah yang disebut bid'ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari'at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru e yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itue kedalam bid'ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang 'am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid'ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid'ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma'ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid'ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan ? Sudah tentu Tidak ! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiripun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.

courtessy : www.mubas.wen.ru

Sabtu, 27 Juni 2009

Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik
15/06/2009

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.


KH Said Aqil Siradj
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Courtesy: www.nu.or.id

Hukum Mencium Tangan Guru

Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ – رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد

Dari Zari ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi SAW.
(HR Abu Dawud)

Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan guru, ulama, orang shalih serta orang-orang yang kita hormati. Kata Imam Nawawi dalam salah satu kitab karangannya menjelaskan bahwa mencium tangan orang shalih dan ulama yang utama itu disunnahkan. Sedangkan mencium tangan selain orang-orang itu hukumnya makruh. (Fatawi al-Imam an-Nawawi, Hal 79).

Dr. Ahmad as-Syarbashi dalam ktab Yas’alunakan fid Din wal Hayah memberikan kesimpulan akhir, bahwa apabila mengecup tangan itu dimaksudkan dengabn tujuan yang baik, maka (perbuatan itu) menjadi baik.

Inilah hukum asal dalam masalah ini. Namun jika perbuatan itu digunakan untuk kepentingan dan tujuan yang jelek, maka termasuk perbuatan yang terhina. Sebagimana perbuatan baik yang diselewengkan untuk kepentingan yang tidak dibenarkan. (Yas’alunakan fid Din wal Hayah, juz II, hal 642).


KH Muhyiddin Abdushomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jembe

Courtesy: www.nu.or.id